Label

Selasa, 06 Maret 2012

Konversi Hutan ke Perkebunan Kelapa Sawit Picu Perubahan Iklim dan Dampak Ekologi Lingkungan Akibat Perkebunan Sawit Skala Besar.



Sumatera Selatan. Bininfor.com-Mengutif berbagai hasil penelitian dari para pihak, ketika bebicara adanya perkebunan kelapa sawit, atau pengusaha perkebunan kelapa sawit, informasi yang selama ini didapat bahwa perkebunan kepala sawit sangat menjanjikan kesejahteraan kepada masyarakat, dalam peningkatan ekonomi kehidupan kita, dan itulah fakta yang banyak diterima masyarakat sdelama ini. Tetap yang kita sesalkan bahwa orang-orang yang diahlikan dalam masalah kelapa sawit tidak pernah mau jujur menyampaikan kepada masyarakat lokal, di berbagai pedesaan. Dibeberapa wilayah provinsi dan kabuapten yang didominasi perkebunan kelapa sawit. Sebagai contoh, wilayah lampung, sumsel, Jambi, Riau, Medan, bahkan hingga Nangro Aceh Darusalam dan beberapa provinsi lainnya.

Bahwa sesungguhnya kebun kelapa sawit sangat berdampak terhadap kelangsungan lingkungan hidup manusia. Ketika ada pemberitaan kami terdahulu yang mengatakan perusahaan perkebunan kelapa sawit bodohi rakyat. Itu mendekati kebenaran, tetapi yang perlu diketahui para pengusaha perkebunan kelapa sawit jangan pernah dianggap sebagai musuh dari orang-orang yang perduli terhadap lingkungan dan ekosistem di jagad raya ini. Dan kami mengutif pesan Allah SWT. Bumi diberikan kepada manusia untuk dipelihara, dan siapapun yang merusaknya akan mendapat azab yang pedih.Dapat dijelaskan Konversi Hutan ke Perkebunan Kelapa Sawit Picu Perubahan Iklim dan Dampak Ekologi Lingkungan Akibat Perkebunan Sawit Skala Besar.

Konversi Hutan ke Perkebunan Kelapa Sawit Picu Perubahan Iklim Oleh Deman Huri Gustira* mengungkapkan “Dulunya di wilayah ini banyak sawah, tanaman pertanian seperti jagung, kacang-kacangan, ubi, namun sekarang kawasan ini telah menjadi padang ilalang. Padi dan tanaman pertanian tidak bisa hidup lagi. Kami menoreh karet sekarang. Kami tidak bisa menoreh karet setiap hari, karena wilayah ini selalu tergenang air.

Catatan di atas merupakan testimoni masyarakat di Desa Mega Timur Kecamatan Sungai Ambawang. Ungkapan tersebut merupakan testimoni masyarakat, ke Penulis ketika melakukan penelitian di daerah tersebut, karena hampir semua kawasannya telah dikonversi menjadi wilayah perkebunan sawit dan penggunaan lainnya.

Hal sama juga terjadi di Desa Seruat Kecamatan Kubu yang menjadi lokasi kedua penelitian penulis. Dari dua testimoni itu konversi lahan berhutan menjadi kawasan perkebunan sawit atau penggunaan lainnya akan berdampak secara langsung pada masyarakat. Karena telah berdampak terhadap perubahan iklim secara signifikan.

Mengapa itu terjadi, karena di sekitar wilayah mereka telah dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit yang tidak memerhatikan dampak lingkungan terhadap masyarakat sekitar. Sehingga wilayah dan masyarakat sulit beradaptasi terhadap perubahan lingkungan terutama dari dampak yang menyebabkan perubahan Iklim secara ekstrem.

Kondisi ini diperparah dengan maraknya konversi wilayah berhutan menjadi perkebunan sawit atau areal lainnya, Menurut data yang terhimpun dari berbagai sumber, luas wilayah Kalbar yang telah dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit pada pertengahan Juli 2009 adalah 4.762.274 hektar, dengan kriteria izin lokasi 70 perusahaan, luas wilayah 2.309.086 hektar, IUP. 169 perusahaan luas 2.309.086 hektar dan yang HGU baru 58 perusahaan dengan luas wilayah 334.5440.Hektar.

Hampir sepertiga luas wilayah Kal-bar sudah dikonversi menjadi wilayah perkebunan sawit. Dan celakanya sebagian wilayahnya adalah kawasan berhutan termasuk kawasan konsevarsi. Percepatan konversi wilayah hutan menjdi perkebunan kelapa sawit tidak terlepas dari dikeluarkannya instruksi presiden no.01 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel).

Dampak yang disebabkan konversi hutan menjadi perkebunan sawit atau penggunaan lainnya: saat ini, masing-masing daerah berkompetisi dalam memperluas wilayah perkebuanan kelapa sawit tanpa memerhatikan kawasan-kawasan hutan dikonversi menjadi kawasan perkebunan dan kawan lainya. akan berdampak signifikan terhadap perubahan iklim.

Dari beberapa hasil penelitian Find Danielsen dari lembag pengembangan ekologi (nordeco)., bahwa perlu waktu paling sedikit 75 tahun, untuk mengkonvensasikan hilangnya karbon dari alih fungsi hutan dari habitat aslinya. Termasuk kawasan gambut yang kaya karbon, maka waktu yang perlu dibutuhkan untuk mengembalikan keseimbangan karbon lebih dari 600 tahun.

Jumlah karbon yang akan dapat diserap hutan sangat tergantung dan jenis tife hutan. Umunya hutan tropis dapat menyimpan karbon sekitar 40% dari hutan dunia, bahkan bisa mencapai 50%, itulah sebabnya hutan tropis punya peranan penting dalam menstabilkan gas rumah kaca(GRK), karena kapasitasnya yang besar dalam menyerap karbon.

Tetapi akibat dari deforestasi maupun degradasi hutan salah satu penyebab utamanya adalah konversi lahan berhutan menjadi perkebunan sawit atau penggunaan lainnya menyebabkan mitigasi perubahan iklim akan mengalami hambatan yang serius di Kalimantan Barat. Terutama dalam adaptasi menghadapi perubahan iklim yang sangat ekstrem.

Hutan tropis rentan terhadap perubahan iklim, praktik pengelolaan dan konservasi harus diintegrasikan ancaman perubahan iklim dan bertujuan mengurangi kerentanan. Pilihan-pilihan adaptasi telah didefinisikan untuk melindungi hutan dari gangguan atau untuk memfasilitasi perpindahan atau evolusi hutan menuju keadaan baru yang telah menyesuaikan dengan kondisi perubahan iklim yang telah berubah.

Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut, meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya mengubah pola iklim dunia. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Perubahan Iklim.

Perubahan iklim sendiri merupakan sebuah fenomena global karena penyebabnya bersifat global, disebabkan oleh aktivitas manusia di seluruh dunia. Selain itu, dampaknya juga bersifat global, dirasakan oleh seluruh mahluk hidup di berbagai belahan dunia.

Oleh karena itu solusinya pun harus bersifat global, namun dalam bentuk aksi lokal di seluruh dunia. Perubahan iklim itu sendiri terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup panjang, antara 50-100 tahun. Walaupun terjadi secara perlahan, perubahan iklim memberikan.

Kalau tidak bisa beradaptasi dengan perubahan iklim, maka ada beberapa dampak yang akan di hadapi, pertama: mempercepat mencairnya es di kutub, kedua: pergeseran musim yang tidak terkendali, ketiga: Peningkatan Permukaan Air Laut, keempat: naik temparatur suhu, dan kelima: bemunculnya berbagai jenis penyakit baru.

Berkaitan dengan telah dikonversikanya lahan menjadi areal perkebunan kelapa sawit dan arealnya lain di Kalimantan Barat ada beberapa hal yang harus dilakukan. Agara Kalimantan Barat mampu beradaptasi dengan perubahan iklim yang sedang terjadi:

Pertama: Moratorium,tidak adanya perluasan lahan perkebunan sawit dengan mengkonversi kawasan hutan, Kedua: penegakan hukum, Ketiga: meninjau kembali izin perkebunan sawit yang tidak menjaga kelestarian lingkungan dan keempat: melakukan penanaman kembali. Sehingga ada perkebunan sawit di Kalimantan Barat tidak berdampak signifikan terhadap perubahan iklim dan wilayah Kalimantan Barat harus mampu beradaptasi dalam menghadapi perubahan iklim yang sangat ekstrem tersebut.


Pertumbuhan sub-sektor kelapa sawit telah menghasilkan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang sering digunakan pemerintah bagi kepentingannya untuk mendatangkan investor ke Indonesia. Namun pengembangan areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan Indonesia karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit utamanya dibangun pada areal hutan konversi.

Konversi hutan alam masih terus berlangsung hingga kini bahkan semakin menggila karena nafsu pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Demi mencapai maksudnya tadi, pemerintah banyak membuat program ekspnasi wilayah kebun meski harus mengkonversi hutan.

Sebut saja Program sawit di wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia di pulau Kalimantan seluas 1,8 jt ha dan Program Biofuel 6 juta ( tribun Kaltim, 6 juta ha untuk kembangkan biofuel) ha. Program pemerintah itu tentu saja sangat diminati investor, karena lahan peruntukan kebun yang ditunjuk pemerintah adalah wilayah hutan. sebelum mulai berinvestasi para investor sudah bisa mendapatkan keuntungan besar berupa kayu dari hutan dengan hanya mengurus surat Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) kepda pihak pemerintah, dalam hal ini departemen kehutanan.

Akibat deforetasi tersebut bisa dipastikan Indonesia mendapat ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan hujan tropis. Juga menyebabkan hilangnya budaya masyarakat di sekitar hutan. Disamping itu praktek konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan terlantar berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan. Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit diantaranyai:
Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi. Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.
Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu.
Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, dimana dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/ Riau Online). Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya.
Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
Pencemaran diakibatkan asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama. Hal ini semakin merajalela karena sangat terbatasnya lembaga (ornop) kemanusiaan yang melakukan kegiatan tanggap darurat kebakaran hutan dan penanganan Limbah.
Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya perkebunan kelapa sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak dan menerima masuknya perkebunan sawit dan bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.
Praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor Dampak negatif terhadap lingkungan menjadi bertambah serius karena dalam prakteknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga dibangun pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi (Manurung, 2000; Potter and Lee, 1998).Masihkan kita membutuhkan konversi hutan untuk menjadi kebun sawit mengingat dampak negatif yang munculkannya begitu banyak bahaya dan jelas-jelas mengancam keberlangsungan lingkungan hidup? Sebuah pertanyaan untuk kita permenungkan demi kelangsungan dan keseimbangan alam serta penghuninya

http://bininfor.com/konversi-hutan-ke-perkebunan-kelapa-sawit-picu-perubahan-iklim-dan-dampak-ekologi-lingkungan-akibat-perkebunan-sawit-skala-besar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar